Pantaskah Kartini Disebut Pahlawan?
April, bulan ini identik dengan Kartini. Nama Kartini sangat identik dengan emansipasi wanita, hingga menempatkannya sebagai pahlawan nasional. Bahkan, tanggal lahirnya pun diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Kartini. Namun, sesungguhnya pantaskah Kartini disebut pahlawan? Sejak dulu, saya selalu tergelitik setiap ada yang menyebut-nyebut tentang kepahlawanan Kartini. Jika kita membicarakan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Cut Nyak Dhien, tidak akan ada yang meragukan perjuangan mereka mengusir penjajah hingga mereka layak disebut pahlawan. Atau sebut saja pahlawan yang tidak ada hubungannya dengan mengangkat senjata, misalnya pahlawan pendidikan kita Ki Hajar Dewantara. Membaca kisah hidup mereka, kita tentu tidak akan ragu menyematkan kata pahlawan buat mereka. Tetapi Kartini?
Sebelum menyimpulkan pantas atau tidaknya Kartini menyandang predikat pahlawan nasional, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu kisah hidup putri Bupati Jepara ini…
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 (28 Rabiul Akhir 1808 Tahun Jawa) di Jepara (ada yang menyebut di Rembang). Keluarga Kartini adalah orang-orang yang berpikiran maju dibandingkan para bangsawan lain saat itu. Pada tahun 1902, hanya ada empat bupati di Jawa dan Madura yang bisa berbahasa Belanda, yaitu Bupati Serang (P.A.A. Djajadiningrat), Bupati Ngawi (R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo), Bupati Demak (Pangeran Ario Hadiningrat – paman R.A. Kartini), dan Bupati Jepara (R.M. Adipati Ario Sosronigrat – ayah R.A. Kartini. Kakek Kartini adalah Pangeran Ario Tjondronegoro (Bupati Demak). Kakeknya ini adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan dengan pendidikan Barat.
Dengan latar keluarga seperti itu, Kartini kecil pun belajar di sekolah Belanda di Jepara hingga berusia 12 tahun. Saat menginjak usia itu, Kartini dipingit dan secara otomatis tidak bisa melanjutkan pendidikannya selain hanya membaca buku-buku di kamarnya. Ya, meskipun ayahnya begitu baik dan mementingkan pendidikan untuk anak-anaknya, tapi beliau juga tidak bisa menghindar dari adat yang mengkungkungnya. Bukan hanya masalah pendidikan, Kartini juga mengalami hal yang sama dengan perempuan bangsawan lainnya, hanya menuruti apa yang dikatakan para lelaki. Wanita seperti Kartini seolah hanya bisa menunggu untuk dinikahi, lalu menurut penuh pada suaminya tanpa bisa melakukan kehendaknya sendiri.
Dalam masa penantian itu, Kartini tidak hentinya berangan untuk melanjutkan pendidikannya ke Belanda, atau paling tidak ke Betawi. Kartini mencurahkan perasaan, pemikiran, dan pandangannya tentang dirinya dan perempuan-perempuan pribumi lainnya yang dikungkung oleh adat Jawa. Kartini berkomunikasi dengan teman-temannya di sekolah dulu, yang sudah berada di Eropa, melalui surat. Namun cita-cita Kartini hanya tinggal cita-cita. Bahkan niatnya untuk belajar ke Betawi yang hampir kesampaian pun dibatalkannya karena akan segera menikah. Setahun setelah menikah, Kartini melahirkan anaknya yang pertama dan terakhir, lalu meninggal pada usia muda.
Surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa dibukukan pada tahun 1911 oleh J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda pada saat itu, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Pada tahun 1922 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Empat Saudara dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.
Begitulah singkatnya kisah hidup R.A. Kartini. Mengharukan memang, namun apapun yang dialami Kartini, sepahit apapun kisahnya, toh nyatanya beliau tidak melakukan apa-apa selain curhat melalui surat-suratnya. Kartini hanya bermimpi. Bahkan dalam lirik lagu Kartini dinyatakan “sungguh besar cita-citanya”, bukan “sungguh besar jasanya”. Semua orang memiliki cita-cita, semua orang memiliki impian yang mulia. Jika saya memiliki cita-cita menghapuskan korupsi dari bumi Indonesia sampai ke akar-akarnya, apakah saya layak disebut pahlawan? Belum. Saya akan layak disebut pahlawan jika saya berjuang dan berhasil mewujudkan impian saya itu. Ya, jika cita-cita dan impian yang mulia saja sudah bisa menjadikan seseorang pahlawan nasional, maka mungkin seluruh penduduk Indonesia layak disebut pahlawan nasional.
Dalam hal peran, Kartini tidak mempunyai karya apapun, berbeda jauh dengan Ki Hajar Dewantara yang begitu gigih memperjuangkan pendidikan. Ki Hajar Dewantara, bahkan hari kelahirannya pun diperingati sebagai Hari Pendidikan, bukan Hari Ki Hajar Dewantara. Ini menyebabkan kita setiap tanggal 2 Mei membahas tentang pendidikan, bukannya semata membahas seorang yang bernama Ki Hajar Dewantara. Sama sekali berbeda dengan perayaan Hari Kartini, di hari itu orang-orang lebih mengingat sosok personal Kartini alih-alih emansipasi wanita. Ini menunjukkan pemujaan yang menurut saya berlebihan. Mengapa tidak diperingati sebagai Hari Emansipasi Wanita saja? Itu mungkin ‘lebih bisa diterima’. Mengapa saya tulis ‘lebih bisa diterima’ dengan tanda petik? Karena memang nyatanya hampir 100 persen orang Indonesia menerimanya.
Memperbandingkan Kartini dengan Ki Hajar Dewantara seperti yang saya cantumkan di atas mungkin kurang mengena bagi sebagian orang. Baiklah, mari kita bandingkan Kartini dengan sosok lain yang ‘sejenis’, yaitu tokoh pergerakan kaum wanita. Apakah Kartini adalah satu-satunya tokoh pergerakan kaum wanita? Nyatanya, masih banyak wanita lain yang sepertinya lebih layak untuk menyandang gelar Ibu Emansipasi Wanita. Mereka melakukan tindakan yang nyata, bukan hanya angan-angan. Sebut saja salah satunya R. Dewi Sartika yang pada tahun 1904 mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis yang disebut ‘Sekolah Istri’.
Sebelum ditutup… mungkin ada yang berpikiran saya terlalu skeptis atau tidak menyukai sosok R.A. Kartini. Sama sekali bukan begitu. Tulisan ini saya maksudkan agar kita menempatkan dan memperlakukan sesuatu atau seseorang pada tempatnya sesuai dengan apa adanya, bukan mengurangi atau melebih-lebihkan. Ibu R.A. Kartini akanlah tetap seorang yang mulia meski tanpa gelar pahlawan nasional. Tidak ada alasan untuk antipati padanya. Toh, beliau sendiri tidak pernah meminta untuk disebut pahlawan.
Leave a Reply