Mana Lebih Asyik, Membaca Novel atau Menonton Film?

Sudah menjadi hal yang lumrah apabila suatu karya tulis, khususnya novel yang laris diadaptasi ke sebuah film. Bukan hanya itu saja, hal yang sebaliknya pun terjadi. Suatu film yang menjaring banyak penonton akan diadaptasi ke sebuah novel, meskipun tidak sebanyak novel menjadi film. Dan tidak hanya melulu novel-film atau film-novel, game pun ikut serta dalam hal ini. Game yang keren akan diadaptasi ke film atau sebaliknya. Dalam posting kali ini saya akan membahas yang pertama, bagaimana kita membandingkan cerita antara membaca novel dan menonton film.

Era sekarang ini, hampir pasti novel yang bagus akan diadaptasi ke sebuah film. Namun tidak semua film yang diadaptasi dari novel yang bagus dan laris akan menghasilkan film yang bagus dan laris juga. Banyak sekali contohnya. Sebut saja novel terlaris sepanjang masa, The Da Vinci Code karangan Dan Brown. Tidak ada yang menyangkal bahwa ini adalah novel yang luar biasa. Di setiap halaman yang kita baca kita bisa mendapat berbagai informasi, pengetahuan dan sejarah yang akan mengejutkan kita. Membaca novel ini seolah kita benar-benar berada di Eropa menyaksikan sendiri karya-karya seniman sepanjang zaman. Tapi apa yang terkadi saat kita menonton film adaptasinya? Sangat mengecewakan.

Bagaimana itu bisa terjadi? Sebelum menyalahkan sutradara dan penulis naskah filmnya, mari kita imajinasikan sendiri, bagaimana seharusnya film itu dibuat? Ini bagi yang sudah menonton film The Da Vinci Code tentunya. Bagi yang belum, silakan bayangkan sebuah film apa saja yang tidak seperti anda harapkan seperti ketika membaca novelnya. Bagaimana seharusnya film itu dibuat? Kebanyakan para pembaca novel yang sudah terlanjur cinta dengan isi cerita pada novel akan berharap filmnya sesuai dengan novel. Saya sendiri begitu, dan saya yakin anda juga demikian. Silakan bayangkan seandainya film itu dibuat sesuai dengan novel. Jika sudah, lalu beri penilaian sendiri, apakah film yang ada dalam angan-angan anda itu akan menjadi film yang bagus? Saya sering melakukan itu. Lalu apa penilaian saya? Tentu berbeda-beda setiap novel-filmnya, tapi saya akan berbicara secara umum. Saya biasanya akan kecewa dengan film yang saya angan-angankan itu. Saya lalu akan berkata sendiri: Ternyata jika dibuat sesuai dengan novelnya, ceritanya akan bertele-tele seperti sinetron. Mengapa begitu? Yah, karena penceritaan dalam novel itu sifatnya mendetail, sedangkan dalam film cukup dengan visualisasi. Satu halaman dalam buku mungkin akan cukup digambarkan dalam satu frame berdurasi lima detik dalam film. Jadi, masalahnya bukan film yang tidak bisa menampilkan seluruh adegan yang ada di buku. Tentunya kita tidak menyinggung perfilman lokal yang bujetnya pas-pasan, tetapi industri perfilman secara umum, khususnya Hollywood. Hari gini, adegan apa sih yang tidak bisa dibuat Hollywood?

Ya, begitulah yang terjadi pada para sineas yang mengadaptasi novel ke film mereka. Hasilnya akan tidak menarik jika jalan ceritanya sama persis dengan novelnya, maka mereka pun membuat perubahan sana-sini hingga tampak keren di film. Namun yang namanya karya, meskipun sudah berusaha untuk dibuat sebaik mungkin, pasti ada yang bagus dan ada yang mengecewakan. Jika film bagus dan sukses, para pembaca novel dan penonton film akan mengatakan “Wah, lebih keren dari novelnya!” Namun jika filmnya mengecewakan, mereka akan mengatakan “Jelek, tidak sesuai dengan novelnya.” Nah….. saat hasilnya bagus, mereka tidak mempermasalah perubahan jalan cerita, tapi saat hasilnya jelek, mereka mempermasalahkannya.

Apapun itu, novel ataupun film tentu tidak dibuat asal-asalan. Satu novel butuh diseleksi di antara ribuan novel lainnya untuk diterbitkan. Begitupun para pembuat film. Mereka tentu sudah mengerahkan kemampuan mereka untuk menghasilkan karya yang baik. Bagaimana pun hasilnya, paling tidak ada niat baik dari mereka untuk berusaha membuat yang lebih bagus dari novelnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Live Chat

Join the Live Chat